Friday, April 27, 2007

ISLAM AND POLITICS

PENDAHULUAN

Partisipasi Muslim dalam bidang politik telah menghiasi percaturan politik tanah air, bahkan sejak negara ini belum merdeka dan mulai diperkenalkannya sistem politik demokratis modern. Tercatat sejak tahun 1929 Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) berdiri sebagai suatu wadah perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Kemudian pada tahun 1945 berdiri partai politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya wadah perjuangan ummat Islam dalam bidang politik, meski kemudian partai ini terpecah dengan keluarnya NU dan PSII. (Editor GIP, 1998)

Dalam perjalanan selanjutnya partai politik Islam mengalami pasang surut, tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ummat Islam mempunyai kiprah dan partisipasi aktif dalam konstalasi politik di Indonesia.

Dari perkembangan terbaru yang dapat dilihat pada Pemilu 1999 variasi partai politik Islam semakin beragam, dari yang mengusung Islam sebagai asas partai sampai partai nasionalis yang mengusung simbol-simbol agama Islam dan mempunyai keterkaitan (meski terkadang disangkal) dengan ormas-ormas keislaman. Dalam mengamati fenomena ini ada sebuah pertanyaan yang muncul dari para aktivis muslim yang memilih menjaga jarak dari partai politik : mengapa tidak diupayakan terbentuknya satu parpol Islam yang mewadahi dan mewakili seluruh aspirasi dan kepentingan muslimin Indonesia ? Kalau ini bisa dilaksanakan, maka betapa akan kuat daya tawar partai politik itu dan keseluruhan kepentingan dan aspirasi ummat Islam akan terwadahi dan tersalurkan dengan semestinya.

Tapi mungkinkah keinginan itu, untuk tidak menyebutnya mimpi, dapat tercapai ? mungkinkah konsep khilafah yang menjadi dasar dari pemikiran semacam itu, dapat direalisasikan dalam kondisi modernitas dengan segala pluralitasnya dan sekularisme disemua lini kehidupan ini ?

Tulisan ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi hanya ingin memetakan latar perbedaan politik melalui konsep politik tentang hubungan agama dan negara dalam khazanah pemikiran Islam, baik klasik maupun kontemporer. Konsep Imamah, Khilafah, dan negara Islam akan dieksplorasi melalui berbagai perspektif pencetusnya, yang dalam beberapa kasus adalah merupakan “ideologi” dari sebuah golongan atau aliran dalam Islam. Dan pada bagian ahir akan dicoba untuk “membumikan peta” dalam konteks politik Islam Indonesia.

NEGARA DAN AGAMA : PERSPEKTIF KLASIK

Perdebatan tentang hubungan agama dan negara bukan sesuatu yang baru dalam sejarah pemikiran Islam. Nama-nama seperti Al-Iji yang mewakili kaum Sunni, Al-Jubba’I dan Al-Fuwati yang mewakili kaum Mu’tazilah, Al-Tusi dari golongan Syi’ah, Kaum Khawarij dan Ibnu Taymiyah, telah lama menjadi kajian dan rujukan pembahasan tentang politik dan negara diantara kaum Muslimin. (Qomaruddin Khan, 1992 : 24 -29). Tema utama dari perdebatan para ulama klasik adalah tentang perlunya Imamah dalam masyarakat Islam.

Banyak keterangan dan penjelasan dalam Al-Qur’an tentang kekuasaan dan otoritas dalam berbagai konteks, tapi tidak menunjukkan bagaimana sebuah negara ideal harus berbentuk. Kata khalifah dan istilah -istilah kepemimpinan lain banyak terdapat dalam Kitab Suci, akan tetapi hanya merujuk pada pengertian kemungkinan teralisasinya kekuasaan politik Muslim di dunia, dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip politik sebagai bagian dari dasar agama untuk mengatur negara. Hal yang sama juga terjadi pada hadits Nabi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa para penerus Nabi memilih berbagai bentuk pemerintahan. (ibid : 23).

Selanjutnya hal tersebut juga menjadi penyebab dari berbedanya berbagai pendapat ulama tentang bagaimana asal dan bentuk negara dalam Islam. Sebagai contoh, ulama Sunni Al-Iji berpendapat bahwa Imamah bukanlah kepercayaan dasar (fundament faith) dan praktik keagamaan Islam, sebagaimana yang diyakini oleh kaum Syi’ah. Menurut kaum Sunni, Imamah (konsep kepemimpinan yang harus ditaati oleh seluruh kaum muslimin) hanyalah merupakan masalah cabang (furu’) saja yang berkenaan dengan tindakan dari kaum muslim. Sedang pengangkatan seorang imam dalam masyarakat (ummah) hanya didasarkan pada tradisi (al-sam’) saja, yang mana tradisi ini merupakan gabungan dari Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (kesepakatan) ulama.

Pendapat secara keseluruhan berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah. Menurut kaum Mu’tazilah keharusan adanya dibuktikan dengan akal. Meski demikian adanya imamah adalah wajib. Hal ini berkenaan dengan dasar pemikiran kaum ini bahwa apa yang menurut akal wajib ada dan perlu, maka secara syar’I wajib ada. Wajib disini dengan pengertian dosa kalau meninggalkan dan berpahala kalau melakukan. Sedang kaum Sunni mengatakan bahwa kewajiban hanyalah yang tertera dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijma’ sebagai wajib, sedang di luar itu tidak. (ibid:25).

Dua perbedaan pandangan ini mempunyai implikasi yang fital. Sebab dalam pembahasan tentang wajib tidaknya adanya negara Islam hal ini akan berpengaruh sangat besar. Kaum yang mengatakan bahwa kewajiban hanya yang tertulis secara pasti (qoth’i) dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, akan menolak untuk berdirinya negara Islam dengan alasan itu.

Pendapat kaum syi’ah tentang imamah hampir sama dengan kaum Mu’tazilah. Imamah menurut mereka adalah merupakan kasih sayang (grace/lutf) Allah terhadap mahlukNYA. Pandangan kaum Syi’ah tentang Imamah didasarkan pada pemikiran sebagai berikut : Allah adalah Pencipta Hukum absolut (absolute Ruler) atas seluruh alam semesta. Allah juga telah menempatkan berbagai kewajiban bagi para makhlukNYA. Karena itu dalam rangka untuk memenuhi kewajiban padaNYA maka kita mempunyai kewajiban untuk mengangkat seorang Imam yang menguatkan Hukum Allah dan melaksanakan sabdaNYA, sebab Allah melihat manusia tidak hanya sebagai perseorangan saja, tapi juga sebagai keseluruhan. (ibid:28).

Posisi yang berbeda dari pandangan-pandangan ini adalah pendapat kaum Khawarij. Menurut mereka tidak penting ada Imamah atau tidak, yang terpenting adalah penerapan syari’ah. Apabila hukum Allah ini dapat diterapkan dimasyarakat tanpa bantuan dari sebuah rezim superior, maka tidak dibutuhkan adanya seorang imam. Dan sebaliknya apabila pelaksanaan syari’ah tidak bisa dilaksanakan di masyarakat tanpa adanya sebuah kepemimpinan, maka kepemimpinan tersebut dapat diijinkan. Jadi perlu tidaknya imam semata-mata tergantung pada kebutuhan, dengan melihat keadaan dan situasinya. (ibid).

Pendapat Ibnu Taymiyah tentang kontroversi perlu tidaknya Imam ini mempunyai persamaan dan perbedaan dengan pendapat-pendapat terdahulu, meski dalam beberapa hal berbeda. Menurutnya “pengaturan urusan manusia adalah merupakan kewajiban utama dari agama, dari pada alasan bahwa agama hanya bisa tetap eksis dengan pengaturan tersebut.” Ibnu Taymiyah mempunyai argumen sendiri yang didasarkan pada dua hal sebagai berikut :

Watak dasar dari agama (din) membutuhkan suatu keteraturan sosial yang diorganisasikan dimana dalam masyarkat itu agama akan berfungsi secara penuh. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Mu’tazilah. Perbedaannya adalah kalau Mu’tazilah mendasarkan pendapatnya pada rasio dan alasan, sedang Ibnu Taymiyah mendasarkannya pada sifat dasar agama itu sendiri dan menggabungkannya dengan alasan-alasan sosiologis yang dirumuskan oleh Ibnu Khaldun. Dalam pendapatnya Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kebaikan manusia tidak bisa direalisasikan kecuali dalam keteraturan sosial, hal ini dikarenakan manusia tergantung kepada manusia lain, dan masyarakat, tidak bisa tidak, membutuhkan seseorang untuk mengarahkan kepentingan-kepentingan itu.

Sunnah Nabi telah menunjukkan bagaimana Nabi mengatur ummatnya dan mengangkat para administratur untuk melaksanakan urusan ummat, mengembalikan sesuatu pada yang berhak dan untuk berperilaku adil dalam pelaksanaan keadilan. Nabi juga bersabda bahwa apabila tiga orang diantara kaum Muslim bepergian, maka hendaklah mengangkat salah seorang diantaranya menjadi pemimpin.

PENDAPAT-PENDAPAT KONTEMPORER

Pada masa modern perdebatan tentang hubungan antara agama (Islam) dan negara masih tetap terjadi dalam berbagai intensitas. Wacana ini kemudian menciptakan dikotomi dalam kelompok-kelompok dan pemikir muslim. Yang dimaksud dengan kelompok Islam adalah mereka yang mengejewantahkan penafsiran atas sumber-sumber asli Islam melalui berbagai organisasi, sedang pemikir muslim adalah mereka yang berkecimpung dalam pengembangan pemikiran tapi tidak secara khusus terjun dalam kelompok-kelompok tertentu. Kelompok yang berpendapat tentang perlunya khilafah Islam biasanya disebut dengan fundamentalis atau garis keras, sedang mereka yang berada diseberangnya disebut dengan modernis atau liberal dan nasionalis. Demikian juga dengan para pemikirnya.

Issu utama dalam perdebatan pemikiran politik Islam adalah seputar institusi khilafah Islam. Yang dimaksud dengan khilafah adalah keyakinan bahwa kekuasaan agama dan politik harus disatukan dalam suatu pemerintahan yang terpusat dalam satu atap, sehingga memungkinkan syari’at bisa diterapkan dan komunitas Muslim terlindungi. (Eickelman and Piscatori, 1996 : 60). Khilafah ini dapat berupa pemerintahan Islam dalam sebuah negara, regional atau kawasan, dan khilafah yang mencakup pemerintahan atas seluruh negara-negara Islam di seluruh dunia.

Basis pemikiran kaum fundamentalis yang mempertahankan dan mengidealkan khilafah Islam ini adalah keterpaduan din wa daulah yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an seperti QS. An-Nisa’ 4:59 tentang perintah taat pada Allah, RasulNYA dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu. Juga dibangun atas contoh yang diberikan Nabi Muhammad, di mana dalam waktu bersamaan beliau berperan sebagai pemimpin spiritual dan pemimpin komunitas politik.

Contoh dari kelompok dan pemikir yang mengidealkan khilafah Islam adalah tokoh-tokoh seperti Ayatullah Khomeini yang sukses dengan Revolusi Islam di Iran, serta Hasan Al-Banna yang mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir dan berkembang ke seluruh penjuru dunia. Dalam pandangan Ayatullah Khomeini “bagi mereka yang menganggap Islam memisahkan pemerintahan dan politik, harus dikatakan kepada orang-orang lalai ini bahwa Al-Qur’an Suci dan Sunnah Nabi mengandung lebih banyak peraturan tentang pemerintahan dan politik daripada hal-hal lain. (ibid : 63).

Berbeda secara kontras dengan pendapat-pendapat di atas adalah pendapat mereka yang meyakini bahwa pelibatan ke politik yang terlalu dalam dapat menyesatkan atau merusak orang-orang beriman. Contoh kelompok ini adalah kelompok Jama’ah Tabligh, sebuah gerakan reformasi penting yang bermula dari Asia Selatan dan sudah memiliki pengaruh mendunia. Dalam keyakinan kelompok ini pemisahan agama dan politik diperlukan dalam jangka pendek. Secara implisit mereka mengkritik pencarian kekuasaan politik sebagaimana dilakukan oleh kelompok Muslimin lain. Sebagai wakil Allah (khalifah) dikaruniai bumi untuk diurus, tetapi itu tidak patut jika mereka tidak dapat mengurus mereka sendiri, oleh karena itu mereka harus menghindari politik sampai mereka bisa membuktikan diri mereka layak jadi makhluk politik. (ibid. : 66).

Perspektif yang lain, tapi mempunyai kesamaan dalam pandangan a politik, adalah pemikiran yang melihat Islam hanyalah ritual dan bahwa politk harus dipisahkan dari agama. Perspektif semacam ini muncul dari kalangan ummat Islam dari berbagai golongan. Contoh yang mencolok adalah pendapat para panglima militer di zaman Khalifah Abbasiyah Al-Nasir yang menolak konsep Imam sebagai pemimpin agama dan politik. Dalam pandangan ini seorang Imam hanyalah pimpinan spiritual yang bertugas memimpin ritual Islam dan memberi contoh dengan perilaku yang religius pada para pengikutnya. Sedang urusan pemerintahan biarlah tetap berada di tangan para sultan.

Pada masa modern pandangan serupa ini dikemukakan oleh pemimpin dari negara-negara Islam (dalam arti jumlah mayoritas penduduknya beragama Islam - pen.) seperti Raja Hussein dari Yordania, Raja Hassan II dari Marokko, Tun Hussein Onn dari Malaysia, Presiden Tunisia Ben Ali, Saddam husein di Irak dan Muammar Ghaddfi di Libia. Mewakili kelompok ini dapat dikutip pendapat Raja Hassan II dari Maroko yang mengatakan bahwa fundamentalisme (al-ushuliyah) adalah merupakan penyimpangan agama (as-syudzudz al-dini). Dengan cara yang merendahkan dia mengatakan bahwa para pengikut faham itu sebagai orang-orang yang telah menempatkan diri mereka keluar dari Islam karena manipulasi politik yang mereka lakukan terhadap agama. Menurut Hassan II “kita harus mngambil apa yang dikatakan oleh orang Kristen : tunduklah kepada Tuhan dalam apa yang menjadi hak Tuhan, dan kepada kaisar dalam hal aoa yang menjadi hak kaisar. (ibid : 67).

Dari kalangan intelektual Islam nama Ali Abdur Raziq, seorang syaikh di Al-Azhar Cairo, dikenal sebagai orang yang mempunyai pandangan tentang pemisahan agama dan politik. Argumentasi adalah bahwa kekuasaan agama dan administratif Nabi adalah terpisah. Pemerintahan Muhammad Rasulullah atas komunitas Muslim Madinah bukanlah bagian dari misi kenabiannya, dan para penerusnya hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya. (ibid.).

Pendapat yang sama dengan berbagai argumen pendukung juga dikemukakan oleh berbagai pemikir Islam lain, seperti Qomaruddin Khan dari India (op. Cit : 22), Fazlur Rahman dari Pakistan, Nur Kholis Madjid dari Indonesia, Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Sa’id Al-Asymawi dari Mesir, dan lain sebagainya.

Mewakili kelompok ini dapat disitir pendapat Abdullahi Ahmed An-Na’im, intelektual Sudan yang hijrah ke Amerika. Menurutnya Syari’at harus dijalankan oleh seorang Muslim yang sejati, namu npelaksanaannya tidak boleh dipaksakan dalam sebuah negara. Dalam pandangannya, negara tidak bisa dipercaya untuk menerapkan syari’at. Memberikan kepercayaan kepada negara untuk memaksakan pelaksanaan syariat akan memberi peluang penyalahgunaan wewenang oleh pemerintahan yang berkuasa. Ketika sebuah kelompok yang berkuasa memberlakukan syariat, maka yang dilaksanakan sesungguhnya adalah pemahaman dan interpretasi mereka terhadap syariat yang belum tentu sama dengan pemahaman dan interpretasi kelompok lain di dalam Islam. Karena itu, ketika salah satu kelompok berkuasa maka ia akan merepresi kelompok lain dengan mengatas namakan agama dan tidak memungkinkan terjadinya oposisi. (Kompas, edisi 23-01-2003).

Islam, kata Na’im, merupakan agama yang sangat demokratis, tidak mengenal hierarkhi, dan memberikan tanggung jawab kepada setiap individu untuk melaksanakan ajaran Islam. Bahkan ketika ia mengikuti seseorang, ia memutuskan secara individu. (ibid).

Menurut Ashgar Ali Engineer (2000) tidak ada konsep baku tentang negara Islam, apalagi yang bersifat ilahiah dan kekal. Al-Qur’an hanya menjelaskan konsep tentang masyarakat, bukan tentang negara. Teori negara Islam mengalami proses perubahan dan cenderung menyesuaikan diri terhadap situasi kongkrit, bukannya terhadap keadaa tertentu. Dalam urusan kenegaraan, Rasulullah SAW sendiri menempuh cara yang paling pragmatik dengan tidak mengabaikan situasi kongkrit. Tentu saja cara yang beliau tempuh acapkali didukung oleh wahyu Ilahi, tapi tidak selalu.

Menurut Jalaluddin Rahmat (1998) persoalan demokrasi dan Islam adalah persoalan kategorisasi yang berbeda. Islam, sebagaimana agama lain, adalah kategori agama. Sementara demokrasi, liberal atau otoriter adalah kategori politik. Karena berbeda maka tidak tepat untuk menghubungkankeduanya. Yang lebih relevan adalah adalah mempersoalkan pemikiran ummar Islam mengenai demokrasi, dan implementasi prinsip-prinsip demokrasi di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Pandangan yang sedikit berbeda dari varian-varian tersebut adalah yang dikemukan oleh Kuntowijoyo (1997) tentang posisi agama dan negara. Menurut Kunto agama dan negara adalah merupakan dua satuan sejarah yang berbeda hakikatnya. Agama adalah pembawa berita gembira dan peringatan (basyiron wa nasziron), sedang negara adalah kekuatan pemaksa (coercion). Agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah dengan melalui kesadaran bersama (collective conscience), negara mempengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam dan negara adalah kekuatan dari luar. Agama seringkali menjadi penunjang politik dengan memberikan legitimasi kepada negara, partai politik dan perseorangan. Legitimasi kepada negara sudah lama diberikan, yang dapat dilihat dari babad-babad. Dalam perkembangannya hubungan agama sering turun naik, dan akhirnya banyak orang yang hanya melihat agama sebagai ritual.

Seluruh pemikiran tentang hubungan agama dan negara tersebut telah lama menjadi perdebatan yang seru dan dinamis. Dalam berbagai kesempatan kedua kubu yang saling mengalami pasang surut, dalam arti pada suatu masa sebuah kubu pemikiran menjadi dominan dan menarik banyak dukungan, pada waktu lain giliran kubu yang berbeda yang menjadi dominan dan menghiasi pemikiran main stream disebuah negara. Dalam praktiknya kaum fundamentalis sering mengejewantahkan apa yang diyakininya menjadi sebuah gerakan aksi, baik dalam bentuk yang demokratis maupun dalam bentuk yang anarkis. Dalam menanggapi aksi-aksi yang anarkis ini terjadi perbedaan pendapat dalam kalangan fundamentalis sendiri, beberapa setuju, sedang beberapa yang lain. Yang setuju mengemukakan dalil bahwa kondisi saat ini adalah kondisi perang dankaum kafir yang berada disekitar dirinya adalah kafir harby yang boleh untuk diperangi.

Sedang pendapat yang tidak mengizinkan tindakan anarkis berpendapat bahwa keadaan saat ini bukanlah keadaan perang, tapi merupakan keadaan damai. Sedang kaum kafir disekitar mereka adalah kafir dzimmi yang dilindungi oleh syari’at Islam bahkan yang mengganggunya diancam sanksi yang berat. Kubu ini juga berpendapat bahwa tindakan anarkhis malah akan merusak seluruh perjuangan dan tidak akan menyelesaikan masalah.

PARTAI ISLAM DAN NEGARA ISLAM : KASUS INDONESIA

Ketika reformasi politik bergulir di Indonesia dan terbukanya “sumbat” saluran politik, maka berlomba-lombalah para aktifis Muslim mendirikan partai baru. Belasan partai berasas, berlabel dan mempunyai basis pada massa Islam berdiri. Masing-masing menklaim diri sebagai wadah perjuangan Islam dan Muslimin Indonesia satu-satunya. Bersamaan dengan dengan “badai keterbukaan” itu beberapa pengamat memperlihatkan sikap mendukung dan menolak berdirinya partai politik dengan label Islam.

Yang mendukung berdirinya partai politik Islam berargumen tentang kesatuan agama dan politik serta semangat Pan Islamisme, sebagaimana yang telah di bahas di depan. Dalam ideal kelompok ini untuk dapatnya nilai-nilai dan syariat Islam bisa tegak dan terlaksana di Indonesia, maka jalan satu-satunya adalah masuk dalam sistem dan merubah sistem dari dalam dan memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui parlemen. (Sudjana, 1998 : 197).

Sedang pendapat yang menolak berdirinya partai Islam mempunyai argumen bahwa berdirinya partai Islam hanya akan mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial vertikal ummat Islam yang selama periode a politik Ummat Islam telah menunjukkan trend menaik; disintegrasi ummat yang diakibatkan fanatisme pada partai akibat di provokasi para jurkam; umat menjadi miopis yang hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat dan berorientasi kekuasaan; pemiskinan perspektif dengan menuntun ummat pada satu perspektif saja, yaitu perspektif partai; runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ummat, apabila sebelumnya kepemimpinan ummat bisa datang dari berbagai kelompok maka dengan berdirinya partai politik ummat hanya akan mengakui pemimpin dari partai politiknya saja; alienasi di kalangan pemuda karena tercerabutnya mereka dari akar agama yang diakibatkan oleh berbedanya pandangannya dengan apa yang dialaminya. (Kuntowijoyo, 1998 : 180).

Dalam tataran kenyataan di Indonesia berdiri berbagai partai politik dengan latar belakang Islam. Latar belakang disini dimaksudkan sebagai “warna” dominan yang ada disebuah partai politik. Dapat terjadi warna tersebut adalah merupakan asas dari partai; atau simbol-simbol yang digunakan; atau sejarah berdirinya partai yang dikaitkan dengan sebuah ormas Islam tertentu.

Salah satu contoh dari hal tersebut adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Secara explisit PKB menyatakan diri sebagai partai terbuka yang berasaskan Pancasila. Jauh hari sebelum pendirian PKB, NU telah menyatakan diri setia pada Pancasila yang dianggap sebagai wahana terbaik untuk melegitimasi perilaku politik dari organisasi. (Ramage, 2002 : 9)

KESIMPULAN, PARTAI ISLAM : ANTARA LABEL DAN SUBSTANSI

Hubungan agama dan politik telah menjadi perdebatan sejak awal sejarah peradaban ummat Islam. Sampai saat ini perdebatan tersebut tetap hangat dan senantiasa mendapatkan konteks pembenar pada setiap waktu dan tempat.

Terlepas dari perdebatan tersebut apakah sebenarnya yang penting dalam hubungan agama dan politik ? Apabila kita kembali pada pemikiran ulama klasik di depan maka dapat dilihat bahwa akar dari hubungan agama dan negara adalah terciptanya keteraturan sosial (social order) yang merupakan sifat dasar dari diturunkannya agama. Negara dibutuhkan untuk menciptakan daya tekan (coercive power) yang memaksa masyarakat untuk menjalankan perintah-perintah agama.

Berangkat dari sinilah para pemikir Islam substantif berpendapat bahwa esensi utama Islam adalah keadilan, dan keadilan ini adalah merupakan hukum universal yang bisa dijumpai disetiap agama. Maka tidak harus sebuah negara berlabel Islam asal dia dapat menegakkan keadilan yang berupakan esensi utama Islam. Mencerminkan ini dapat dikutip perkataan Ibnu Taymiyah yang mengatakan “akan abadi seorang raja yang adil meskipun dia kafir, dan akan runtuh raja dholim meskipun dia Muslim”.

Dalam pengamatan para ahli politikdi dunia Islam, pergulatan politik dan konstalasi politik di negara-negara Islam tidak lebih dan tidak kurang dari pergulatan politik di tempat-tempat lain yang menerapkan demokrasi modern. Menurut Eickelman dan Piscatori (Op.cit. : 16) politik Muslim juga melibatkan kompetisi dan persaingan, baik yang mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong penafsiran itu. Penafsiran simbol-simbol dimainkan dengan latar belakang sebuah kerangka pokok yang bersifat umum bagi kaum muslim di seluruh dunia. Mesti dicatat bahwa pertimbangan doktrinal hanyalah merupakan salah satu faktor diantara banyak faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap terciptanya kerangka tersebut.

Sebuah sistem politik, baik di dunia Islam maupun di tempat lain, pasti melibatkan manajemen persaingan dan bahkan perbenturan pelbagai kepentingan. Memang, alokasi kewenangan atas sumber-sumber daya dan penetapan batas-batas kewenangan itu merupakan bagian integral dari proses politik, akan tetapi bukanlah keseluruhan proses politik itu sendiri. Konsep siapa mendapatkan apa, kapan dan di mana serta pemisahan antara ruang lingkup aktifitas yang bersifat politis dan non politis juga harus di tekankan sebagai titik persamaan yang lebih luas. Disamping itu juga harus dilihat dikotomi yang lazim pada analisis politik, seperti politik “tingkat tinggi” dan “rendahan”, “publik” dan “privat”, serta pengakuan adanya jaring yang saling menembusi (interpenetrating networks) yang berkembang dalam kehidupan sosial dan politik ummat Islam. (ibid).

Pemikiran ini dapat menjadi cerminan pada partai Islam yang ada di Indonesia. Banyak partai Islam yang mempunyai label dan asas Islam tapi tidak mencerminkan etika, akhlaq, pemikiran dan perjuangan Islam. Meski mereka berlabel dan berasas Islam tapi kelakuan dan perjuangan mereka sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam. Mengutip pendapat Kuntowijoyo di atas, Islam dalam sejarah hubungannya dengan negara, partai politik dan perorangan yang berkuasa hanya berfungsi sebagai legitimator. Tidak lebih dari hanya sekedar stempel karet (rubber stamp) untuk mengamankan posisi mereka saja.

Dalam kasus partai politik di Indonesia, agama hanyalah merupakan “jualan” atau komoditi politik. Islam hanya menjadi daya tarik untuk menggiring massa pemilih pada suatu partai politik tertentu dengan tujuan memenangkan pemilu. Apabila kemenangan telah di tangan maka massa yang terbujuk “rayuan” agama tersebut ditinggalkan. Tidak hanya itu saja, perilaku merekapun tidak mencerminkan agama yang mereka gembar gemborkan pada masa kampanye.

Meski trend ini tidak berlaku pada semua partai politik berlabel Islam atau politisi dari partai Islam, akan tetapi main stream dari peta politik Indonesia tak pelak lagi menggambarkan hal ini. Dari segi agama hal ini sangat merugikan agama, sebab para pemilih yang semakin cerdas akan melihat hal itu sebagai perwakilan agama yang sebenarnya. Hal ini akan membuat mereka berpaling dan mencari kebenaran dalam hal lain. Dari segi politik hal ini akan melambatkan proses pembelajaran politik bangsa, dan akan menambah panjang daftar penyimpangan-penyimpangan politik di Indonesia.

Secara pribadi penulis mengidealkan sebuah partai dengan asas Islam dan perilaku Islami yang menyeluruh. Secara ideal penulis masih melihat kemungkinan adanya sebuah partai Islam yang menjadikan Islam sebagai asas. Asas tersebut tidak hanya merupakan komoditas politik, tapi juga merupakan dasar perjuangan, pegangan dan tuntunan hidup bagi seluruh anggota, pengurus dan elite partai. Meski sejarah perpolitikan ummat Islam tidak mendukung idealisme penulis ini tapi dalam banyak hal penulis masih melihat celah-celah yang memungkinkan partai Islam ideal itu, seperti mulai tumbuhnya kelas intelektual yang sangat concern dengan ajaran Islam dan menerapkannya dalam perilakunya sehari-hari, juga sangat mengerti dengan dinamika dunia modern dan mampu mengadaptasi sitem demokrasi sekular dalam perjuangannya. Apabila kemudian kelompok ini juga gagal memegang ajaran Islam sebagai asas dalam seluruh aspek kehidupan politiknya, maka tidak dapat dibenarkan lagi adanya sebuah partai politik yang mengatas namakan Islam, dalam berbagai bentuk klaimnya.

DAFTAR PUSTAKA

Eickelman, Dale F. and James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, 1996, Bandung, Mizan.

Anonimous, Memilih Partai Islam, 1998, Jakarta, GIP.

Kuntowijiyo, Enam Alasan untuk Tidak Mendirikan Parpol Islam, dalam Memilih Partai Islam, 1998, Jakarta, GIP.

_________, Identitas Politik Ummat Islam, 1997, Bandung, Mizan.

Rakhmat, Jalaluddin, Catatan Kang Jalal; Visi Media, Politik dan Pendidikan, 1998, Remaja Rosda Karya, Bandung.

Sudjana, Eggi, Parpol Islam, Antara Kelayakan dan Kewajiban, dalam memilih Partai Islam, 1998, Jakarta, GIP.

Khan, Qomaruddin, The Political Thougt of Ibn Taymiyah, 1992, New Delhi, S. Sajid Ali for Adam Publishers and Distributors.

Liddle, William R., Islam, politik dan Modernisasi, 1997, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.